Kebijakan yang Tidak Bijak

Drs. Santun Lumban Gaol, M.A.P. saat memberikan keterangan pers mengenai polemik adanya usulan revisi Undang-undang No. 30 tahun 2002 tent...

Drs. Santun Lumban Gaol, M.A.P. saat memberikan keterangan pers mengenai polemik adanya usulan revisi Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK. (Foto: Mihardo Saputro)

Penulis: Drs. Santun Lumban Gaol, M.A.P.

Sampai saat ini tidak ada ujung pangkal dari kebijakan wakil rakyat merubah Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah disyahkan pada Rapat Paripurna DPR 17 September 2019. Ada kelompok masyarakat menggugat UU KPK yang baru ke MK, karena dinilai cacat formil dan meteriil. Sementara, UU baru belum ditanda tangani Presiden RI Joko Widodo dan juga belum memiliki nomor UU, serta belum diundangkan ke dalam lembaran negara. Dari sini kita ambil kesimpulan sementara bahwa “Judicial Review” UU KPK tidak bisa dilakukan.
Pertanyaan kita, kenapa harus buru-buru membahas dan mensyahkan perubahan UU KPK/ padahal rencana perubahan UU KPK tidak masuk prolegnas? Berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembahasan sebuah RUU harus dimulai dengan tahap perencanaan.
Letak perencanaan itu ada di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan prioritas tahunan DPR. Ada upaya diam-diam lemahkan KPK yang akhirnya tanpa melalui proses itu. Revisi UU KPK tiba-tiba muncul dalam sidang paripurna di DPR, Kamis (5/9/2019) siang, bahkan tidak ada partai politik yang menolaknya.
Kalau dilihat dokumen evaluasi penanganan RUU Prolegnas Prioritas pada 1 Agustus 2019, RUU ini (UU KPK) tidak ada. Begitu juga dalam keputusan rapat pimpinan Baleg per 19 Agustus 2019, RUU ini juga tidak ada.


Kalau kita baca secara lengkap dalam perubahan UU KPK yang baru terdapat 26 persoalan sebagaimana dirangkum dibawah ini:
1.  Pelemahan independensi KPK, bagian yang mengatur pimpinan adalah penanggung jawab tertinggi dihapus.
2.  Dewan pengawas lebih berkuasa daripada pimpinan KPK.
3.  Kewenangan dewan pengawas masuk pada teknis penanganan perkara.
4.  Standar larangan etik dan antikonflik kepentingan untuk dewan pengawas lebih rendah dibanding pimpinan dan pegawai KPK.
5.  Dewan pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun.
6.  Pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan.
7.  Salah satu pimpinan KPK setelah UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur atau kurang dari 50 tahun.
8.  Pemangkasan kewenangan penyelidikan.
9.  Pemangkasan kewenangan penyadapan.
10.Operasi tangkap tangan (OTT) menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumit pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK.
11. Terdapat pasal yang berisiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat ini lagi.
12. Ada risiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait penyadapan karena aturan yang tidak jelas dalam UU KPK.
13. Ada risiko penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus.
14.Berkurangnya kewenangan penuntutan, dalam pelaksanaan penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait tetapi tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.
15.Pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN.
16. Terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak).
17. Terdapat risiko dalam waktu dua tahun bagi penyelidik dan penyidik KPK yang selama ini menjadi pegawai tetap.
18. Harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN.
19. Jangka waktu SP3 selama dua tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara.
20. Diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara.
21. Terdapat pertentangan sejumlah norma.
22. Hilangnya posisi penasihat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan.
23. Hilangnya kewenangan penanganan kasus yang meresahkan publik.
24. KPK hanya berkedudukan di ibu kota negara.
25. Tidak ada penguatan dari aspek pencegahan.
26. Kewenangan KPK melakukan supervisi dikurangi.

Maka dari tulisan ini disarankan kepada pihak-pihak yang ingin menempuh jalur hukum judicial review (JR) supaya menahan diri untuk menunggu, sebab UU KPK yang baru belum disahkan. Meski demikian, kita mendorong agar Bapak Presiden Joko Widodo tetap menggandeng semua pihak guna membahas polemik UU KPK hasil revisi. Salah satu cara Bapak Presiden segera mengundangkan UU KPK yang baru, kemudian di undangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia. Hal ini perlu untuk segera diketahui masyarakat luas dan kemudian semua pihak dapat berpartisipasi mengambil kebijakan yang lebih bijak untuk memperkuat KPK. Apakah kelompok masyarakat ingin JR atau Presiden Pak Jokowi membuat Perpu atau bahkan anggota DPR sekarang mau mengoptimaslisasi UU KPK yang keburu diterbitkan supaya KPK lebih optimal?

***

* Penulis adalah Waketum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Majelis Umat Kristen Indonesia (MUKI)

COMMENTS

BEST MONTH