Bersama Menjaga Rumah Toleransi

Bersama Menjaga Rumah Toleransi (Ilustrasi gambar: Gabriel Hartanto ) Penulis: Gabriel Hartanto Indonesia adalah negara yang terd...

Bersama Menjaga Rumah Toleransi (Ilustrasi gambar: Gabriel Hartanto)

Penulis: Gabriel Hartanto

Indonesia adalah negara yang terdiri dari 17.504 pulau, memiliki populasi penduduk hampir 270.054.853 jiwa pada tahun 2018, serta punya lebih dari 721 bahasa daerah dengan penduduk multi ras, etnik dan budaya. Setiap masyarakat yang ada di wilayah kepulauan Indonesia sangat unik, tidak sama. Kemajemukan yang ada di Indonesia ini bisa dimaknai sebagai kekayaan besar sekaligus sumber bencana; sebagai kekayaan jika kita bisa menerima dan mengelolanya dengan baik. Dan menjadi sumber bencana jika kita tidak bisa bertoleransi satu sama lain.

Menjadi Indonesia dengan wilayah yang seperti sekarang ini bukanlah perkara mudah, ratusan tahun setelah Kerajaan Majapahit runtuh, para pemimpin lokal yang ada di bumi Nusantara berusaha menyatukan kembali Nusantara, namun tak pernah bisa.


Banyak momentum penting di bumi Nusantara yang menjadi saksi sejarah perjuangan mencapai Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, salah satunya adalah momentum dilaksanakannya sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sejak itulah perjuangan rakyat tidak lagi bersifat kedaerahan, melainkan semangat kesatuan dari Sabang sampai Merauke, dipelopori oleh para pemuda. Para Pemuda itu akhirnya mengambil porsi penting untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Kesadaran untuk menjadi masyarakat Nusantara yang bersatu dan berdaulat semakin kuat. Tekad untuk menjadi "Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa” menggelora dalam jiwa setiap pemuda dan anak bangsa untuk membangun kembali kedaulatan Nusantara yang sekian lama porak-poranda. Perjuangan menjadi Indonesia tidak mudah dan butuh waktu panjang.

Setelah Indonesia Merdeka, perjuangan belum berhenti. Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, pernah berujar: "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri." Soekarno benar, setelah Indonesia merdeka, beberapa peristiwa berdarah terjadi, pertempuran melawan bangsa sendiri tercatat dalam sejarah antara lain: Pemberontakan PKI di Madiun (PKI Musso) Tahun 1948, Pemberontakan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII), Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Pemberontakan Permesta, Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Pemberontakan Gerakan Separatis, Tragedi Nasional G 30 S/PKI Tahun 19651, Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM), Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS).

Sampai sekarang kita masih harus berjuang melawan bangsa sendiri, melawan mereka yang ingin mengubah dasar negara kita Pancasila, melawan mereka yang ingin memaksakan kehendaknya dengan cara-cara intoleran, melawan para rasialis dan radikalis yang berhasrat menjadikan Indonesia sebagai negara agama maupun paham-paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Mari kita belajar lagi tentang sejarah bangsa ini, kita belajar lagi tentang kearifan lokal yang diwariskan turun temurun dari para leluhur, agar kita menjadi manusia yang mampu bertindak "dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.” lngatlah sejarah tentang bangsa kita yang telah ada sejak puluhan ribu tahun lalu, jangan bersitegang hanya karena kita memeluk suatu agama tertentu, jangan pula memutuskan ikatan kekeluargaan sebagai anak bangsa hanya karena diiming-imingi isme asing yang ingin menghancurkan jati diri kita sebagai bangsa yang santun, berbudi dan bermartabat. Jangan menjadi penghianat bangsa dengan menginjak-injak budaya sendiri.

Indonesia, tempat dimana kita dilahirkan, tumbuh dan berkembang adalah rumah pusaka kita yang harus dijaga bersama. Jangan biarkan rumah kita dirusak oleh orang jahat yang berusaha menghancurkan nilai-nilai luhur milik kita dengan tawaran nilai-nilai asing yang jauh dari akar budaya santun, luhur, berbudi dan gotong royong. Jangan biarkan faham intoleran tumbuh subur di negeri ini agar peristiwa yang menghancurkan kerajaan besar Majapahit di Nusantara tempo dulu tidak terulang. Kita tidak ingin Indonesia bubar layaknya Majapahit yang sirna setelah 230 tahun berjaya. Mari kita bijak menggunakan media untuk lebih mempererat kebhinekaan kita di bumi Nusantara, Indonesia Raya.

***

* Penulis adalah Pemimpin Redaksi Tabloid Suara Umat

COMMENTS

BEST MONTH